BUA6GOHrM7QLK6XOoFvYvIlTMmwhL9OgHFakY7mh

CERPEN: Coretan Di Hari Guru



Pagi ini. saat sa tertidur pulas menikamti mimpi-mimpiku, sa terbangun kaget oleh suara anak anak di ruang tamu yang sedang bermain asyik. Mereka terbangun pagi dan dimandikan oleh ibu, bermain asyik hingga capeh bahkan mereka tak mengenal apa itu suka dan apa itu duka yang mereka tahu hanya mengangis saat membutuhkan sesuatu, makan saat lapar, minum saat haus hingga tidur ketika sang malam datang menyapa.

Kalau boleh jujur. Sa juga merinduhkan masa-masa kecilku, masa dimana kemerdekaan sejati itu ada, saat dimana segalanya bisa kita beli dengan air mata. Namun semua sudah berlalu, tak perlu kita ungkit disini sebab memang begitu poros kehidupan manusia. Ada masa kecil, dewasa hinggga tua. Yang terpenting disini adalah bagaiaman kita sebagai manusia menikmati setiap waktu dengan penuh kesadaran, agar kita tak melewti satu masa dengan sia-sia dan menyesal di kemudian hari.

Setelah sa di bangunkan oleh suara anak-anak dan juga huru-hara manusia di sepanjang jalan. sa langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu kembali menatap barang istimewa yang bernama hanphone, kemudian membuka media sosial sama seperti jutaan anak mudah lain di papua dan Indonesia.

Saat masuk di beranda facebook. Sa melihat banyak postingan dengan kata-kata mutiara tentang guru. Bergitu juga dengan media sosial lain seperti Instagram dan twitter. Ada banyak kata-kata puitis yang ditulis namun sa tidak bisa sebut satu per satu, intinya semua kata itu baik dan puitis namun sa tidak tahu apakah kata-kata itu benar-benar muncul dari otak mereka atau hanya hasil penulusuran dari Tuan Profesor Doctor Google.

Setelah sa telusuri lebih dalam. Ternyata hari ini, Senin tanggal 25 November adalah Hari guru nasional. Hari dimana semua guru di seluruh Indonesia mendapatkan penghormatan dan penghargaan atas dedikasi mereka di dunia pendidikan. Guru memang hebat, sebab semua ilmuwan, professor bahkan presiden sekalipun adalah hasil nyata didikan seorang guru. Bahkan ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa ‘jika ingin menjatuhkan suatu Negara maka bunuhlah guru-guru sebab melalui mereka macan-macan mudah akan terlahir”.

Berbicara tentang guru. Sa jadi ingat guru favorit saya sewaktu SMP. Beliau hingga saat ini masih mengajar di SMP Negeri 2 Kamuu-Dogiyai. Dia mengajar mata pelajaran PKN saat itu, namun guru di SMP itu sangat kurang sehingga terpkasa ia mengajar ilmu-ilmu sosial lainya. Isaias Tigi.spd. itu nama lengkapnya namun kami sering menyebut dia dengan nama pak.guru Tigi tapi bahasa kami terkontaminasi dengan bahasa lokal  sehingga jadinya tigikudu.

Dari kelas satu sampai kelas tiga. Tigikudu adalah guru favorit saya sebab cara mengajar yang sangat kontekstual dengan gaya  bahasa sederhana yang kadang dicampur dengan bahasa daerah. Ia sangat disiplin, setiap pagi kami di bariskan lalu dikasih arahan, motivasi bahkan memberi kami pelajaran, dan dari semua yang diberikan yang paling tertanam di otak kecil saya adalah “hokaido ikikede epepitai, ikiha makikou ihowoyaka kihahakine keitenaka”kaliamat ini selalu di ulang-ulang oleh dia. Dulu saya anggap kalimat itu kalimat biasa namun setelah beberapa tahun baru saya sadar bahwa kalimat itu mengandung makna yang dalam serta menggambrakan realitas di papua baik dari dimensi ekonomi,politik maupun sosial budaya.

Semua guru itu memang pahlawan tanpa jasa, sama seperti pandangan semua anak-anak kepada orang tuanya. Namun guru-guru di tempat terpencil yang mengajar dengan segala kekurangan itu memiliki nilai plus. Mereka sama dengan para zeendeling dan misionaris yang masuk ke papua Tahun 1833 dengan misi membangun orang-orang hidup yang masih tidur, yang masih belum tahu dunia luar, yang hanya mengenal Tuhan dalam Versi orang papua sendiri.

Penguruan dan transformasi budaya di papua dimulai Tahun 1833 dengan hadirnya para misionaris dan zeendeling. Kehadiran mereka sama halnya dengan kehadiran dunia pendidikan formal di papua sebab hampir semua suku di papua hanya mengenal pendidikan nonformal yang diajarkan oleh orang tua sebelum adanya misionaris di papua. salah satu contoh pendidikan nonfromal yang ada dalam suku saya, suku Mee adalah Douw,Gai dan Ekowai yang artinya Melihat,berfikir dan bertindak.

Awalnya misionaris datang untuk menyebarkan tentang Kerajaan Allah. Mereka mengajarkan teologi dimanapun mereka berada, namun pengajaran mereka awalnya hanya berkembang di pesisir pantai sebab hutan dan rimbah di Papua menjadi paghalang untuk menyentuh orang-orang Papua di bagian pengunungan. Yang menarik dari mereka adalah pendidikan yang diajarkan sesuai dengan konteks, bagi masyarakat Papua di bagian pantai diajarkan bagaimana menjadi nelayan yang baik, didaratan pun sama, mereka mengajarkan bagaiaman berternak yang baik serta memperkenalkan tanaman-tanaman langkah seperti kopi, lalu mama-mama di beberapa daerah di ajarkan bagaimana cara menjahit yang baik dan benar.

Satu hal yang sa kagum dari para misionaris adalah mereka melihat potensi setempat untuk melatih masyarakat Papua mengelolah alam dengan baik. Mereka mengajarkan bagaimana masyarakat memproduksi alam setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjual kepada orang lain, termasuk para misionare yang ada disana. Namun kalau kita lihat pendidikan saat ini, jauh dari konsep Belandan saat itu, saat ini pendidikan lebih mengajarkan bagaiamana mengonsumsi daripada bagaiamana memproduksi sehingga ketergantungan orang papua terhadap dunia luar sangat terasa.

Andai. Orang belanda masih ada di Papua hingga saat ini, maka sa yakin dari 100% orang Papua mungkin sekitar 10% memiliki perusahan di tempatnya masing-masing sehingga pepatah “menjadi tuan di tanah sendiri”itu nyata adanya, sebab yang mereka ajarkan adalah bagaiaman memproduksi bukan bagaimana mengonsumsi. Namun nasib berbicara lain, setelah Indonesia merdeka Papua dianeksasi ke dalam bingkai NKRI. disini sa sebut ‘aneksasi’ karena memang Papua digabungkan kedalam Negara kesatuan Republik Indonesia tanpa sepengetahuan orang papua sendiri sehingga orang papua menganggap ini sebagai suatu manipulasi demi kepentingan Geopolitik Indonesia.

Setalah Papua termasuk dalam bingkai NKRI. gereja-gereja yang dibuka Belanda masih tetap eksis namun pendidikan konsep Belanda terhapus secara perlahan. Hingga sampai pada Tahun 1970-an baru ada sekolah-sekolah Indonesia di beberap tempat di Papua. ada guru-guru yang datang dari luar Papua, mereka mengajarkan hanya berlandaskan cintah dan kasih sebab banyak tantangan dan kekurangan yang mereka hadapi di lapangan. Kata beberapa orang tua yang masih hidup hingga saat ini, system pendidikan saat itu sangat otoriter dan keras, guru seolah-olah berlaku bagai Tuhan yang tak bisa dikritik sehingga kadang-kadang guru pun bertingkah semaunya. Namun hasil didikan dari konsep pendidikan seperti ini melahirkan orang-orang dengan kedisiplinan tinggi serta bermental bajah. Dan sebagian kecil dari mereka masih ada hingga saat Ini.

Bapak saya adalah salah satu murid yang belajar dengan system pendidikan yang bisa dikatakan otoriter. Saya tidak tahu persis bagaimana perjuanagn dia untuk mendapatkan pendidikan hingga bisa menjadi seorang guru, namun yang jelas Ia menjadi seorang guru lalu mendedikasikan hidupnya di pengunungan tengah papua. ia pernah mengajar murid Mee, moni dan juga Dani, dan berkat cintah kasih dan dedikasihnya ada banyak anak didiknya yang menjadi manusia yang lebih manusiawi di beberapa daerah di Papua.

Bapak saya menjadi seorang guru saat dimana presiden Suharto masih memimpin Indonesia. Saat dimana pembagunan belum berjalan lancer dan aman, sehingga perjuangan tak hanya mengabdikan diri untuk mendidik dan membina namun juga perjuangan sampai kepada tenpat tujuan. Ia berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk sampai pada tempat tujuan, lalu mencari dan mengajak murid untuk masuk sekolah sebab saat itu masih banyak anak-anak serta orang tua yang tak memahami makna pendidikan secara mendalam sehingga mereka menganggap pendidikan sebagai sesuatu asing dan tak penting. Bahkan katanya, ada beberapa tempat yang mengancam guru-guru untuk tidak boleh mengajar lagi sebab apa yang diajarkan bertentangan dengan norma yang berlaku di tempat tersebut.

Sa sangat kaggum dengan guru-guru pada masa Suharto. Gaji mereka tak seberapa, pembagunan belum tak selancar sekarang, mereka harus bersedia ditempatkan dimana saja dan megajar ratusan anak yang rata-rata belum mendapatkan pendidikan dirumah. sehingga sa sebut mereka sebagai pelayan Tuahan sebab mereka lebih menjunjung tinggi cinta kasih dalam semua pengabdian mereka untuk memerdekakan manusia-manusia di pelosok yang merindukan kemerdekaan.

pada masa itu sekolah lumayan berkembang, sebab orang-orang yang memgang kendali atas sekolah itu memilki semangat sangat tinggi,berdsiplin dan juga mereka lakukan semua itu atas dasar cintah kasih sehingga berapa pun mereka digaji tak menjadi masalah sebab kesenangan yang mereka rasakan bukan pada kenikmatan material saat mengajar namun lebih kepada kesuksesan anak-anak didikan.

Namun dari pengamatan sa, guru-guru saat ini di pedalaman Papua justru terbalik dengan guru-guru lama di masa pemerintahan Suharto. Disini sa tidak memuji Suharto tapi banggsa dengan guru-guru yang bekerja di pedalaman papua pada masa Suharto. Guru sekranag lebih memetingkan berapa gaji yang diberikan atas apa yang diajarkan di sekolah. Orientasi guru sekarang kepada gaji sehingga kalau gaji macet maka pendidikan pun macet. Kalau gaji kecil maka guru bikin liburan sendiri, sifat guru yang seperti ini juga salah satu virus yang membunuh anak mudah papua secara perlahan.

Apa yang sa sebut diatas adalah suatu realitas yang terjadi di pedalaman papua, terutama di bagian Meepago. pendidikan di papua belum cukup kuat, karakter anak-anak masih terombang-ambing namun guru masih apastis dengan kondisi saat ini. bahkan ada beberapa sekolah yang libur berbulan-bulan karena taka da pengajar, sekolah-sekolah yang ada pengajar sekalipun terkendala oleh kemalsan guru. Ini semua adalah penyakit bagi kita. Tak hanya ini, anak-anak di papua terserang dengan penyakit yang bernama modernitas.

Moderitas mungkin memiliki dampak baik di daerah lain tapi tidak bagi daerah meepago. sebab hampir 70% remaja belum memiliki kesadaran dalam hal membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga semua hal selalu di coba tanpa mengetahui dampaknya sehingga hal-hal yang dapat membunuh sekalipun dicoba dampaknya mati terbuai dalam gelombang modernitas. Kesadaran ada ketika pendidikan yang diterimah itu berkualitas, pendidikan formal tak akan berlangsung apabila taka da guru, pendidikan pun taka da apabila tidak ada murid, namun system di persekolahan tak akan berjalan baik apabila pemerintah apatis dengan dunia pendidikan. Semua saling berkaitan, tugas kita adalah bagaimana supaya kita sadar akan diri kita sendiri  sebagai manusia untuk menyadari semua hal, baik kondisi ekonomi,politik,sosial dan budaya.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar