Tuan Arnol C Ap (By. komce:Franz M) |
Oleh: Alfred TArnold klemen Ap (1 Juli 1945 – 26 April 1984) adalah pemimpin budaya Papua Barat, antropolog dan musisi. Arnold adalah pemimpin kelompok Mambesak, dan Kurator dari Museum Universitas Cenderawasih. Dia juga menyiarkan budaya Papua di acara radio mingguannya.
Yang terkenal dari kinerja studi budaya dan musik Papua yang dibangun Arnold Ap bersama group Mambesaknya dianggap oleh Pemerintah Indonesia sebagai sebuah tantangan terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam memaksakan Nasionalisme Indonesia di Papua barat. Karena dengan adanya musik mambesak dan studi budaya yang dilakukan Arnold C Ap terbukti menumbuhkan Nasionalisme Papua dan penemuan jatidiri/ identitas. Upaya yang dilakukan Arnold c Ap adalah untuk menyatukan rakyat Papua barat.
Pada November 1983 dia ditangkap oleh militer Indonesia pasukan khusus (Kophasanda) yang sekarang berganti nama menjadi Kopassus dan dipenjarakan dan disiksa untuk tersangka simpati dengan Gerakan Papua Merdeka, meski tidak ada tuduhan telah dibebankan. Pada bulan April 1984 ia dibunuh oleh tembakan ke punggungnya. Pernyataan ‘gombal’ resmi dari Pemerintah kanibal Indonesia menyatakan bahwa ia sedang berusaha melarikan diri. Tetapi ternyata Arnold Clemens Ap dieksekusi oleh Kopassus. Musisi lain, Eddie Mofu, juga tewas.
Group Musik “Mambesak”
Musik adalah sumber potensial masih menjadi hambatan budaya di Papua Barat. Arnold Ap dan Mambesak masih populer di Papua Barat, dan karya-karya mereka dipandang sebagai simbol identitas Papua Sejak 1990-an. Namun pemerintah Indonesia melarang untuk orang Papua mengungkapkan bentuk-bentuk budaya pribumi yang melambangkan jatidiri mereka. Menurut Danilyn Rutherford, Associate Professor of Anthropology, University of Chicago, akses yang terbatas memfasilitasi gambar expressivity budaya toleransi dan “kesatuan dalam keragaman,” moto nasional resmi. Maka tidak mengherankan apabila musisi lain yang lahir dari tanah Papua dikejar, disiksa, bahkan dibunuh dengan tuduhan gombal. Contohnya, Black brother dll.
Baca Juga: Mengenal Literasi dalam Konteks Papua
Daerah yang berasal dari berbagai suku dan bangsa di Papua. Di era 1970-an lagu-lagu daerah cukup meletup dikuping orang yang dilantumkan group Band Manyori (burung Nuri). Nama Manyori ini tidak bertahan lama karena burung Nuri lebih merupakan burung suci orang Biak Numfor saja, sementara burung kuning dihormati oleh semua suku-suku di seluruh Papua Barat sebagai mahkota kepala suku. Maka pada era 1980-an lahirlah Mambesak “Cenderawasih atau burung kuning”.
Group Mambesak mampu menggarab Lagu-lagu daerah Papua Barat dengan bahasa suku yang ada di Papua kemudian di arrangements dengan alat musik lokal yang sangat sederhana seperti Tifa, Suling bambu, Tambur, Ukulele, Tabura (kulit Kerang) dan lainnya.
Lagu-lagu daerah Papua yang dinyanyikan kelompok Mambesak mewakili suku dan bahasa masing-masing daerah seperti Waniambei (Tobati – Jayapura), Na Sisar matiti (Teluk Bintuni), Lenso Inoni Nifako(Waropen), Akai Bipa Mare (Mimika), Basiri Buruai (kaimana), Henggi Iha (Fak Fak), Yapo Mamacica (Asmat), Mate Mani Inanwatan (Sorong), Nit Pughuluok En (Kurima – Jayawijaya), Wayut Lo (Muyu-Merauke), Piruje (Moor-Nabire), Omentaiseo (Teminabuan-Sorong), Syowi Yena (Biak-Numfor) dan Maitwu Som (Arso-Jayapura).
Keunikan Mambesak
Budayawan sekaligus seniman legendaris group musik Mambesak William A. Kiryar, menilai warna musik khas Papua adalah kroncong. Yang menjadi keunggulan, sekaligus membedakan musik lain dengan musik Papua adalah musik tifa dan okulele. Cara memukul guitarnya juga beda. Kadang mat-nya (iramanya) tidak menentu. Musik Papua merupakan kolaborasi musik akustik yang tidak menggunakan guitar strom, okulele dan bass dua tali buatan sendiri ditambah tifa.
Misalnya, awalnya kita bisa main dengan 4/4, tapi di pertengahan bisa berubah menjadi 2/3, atau 3/4. Ada lagu yang pukulan musik dan syairnya dinyanyikan dengan memainkan musik dalam tempo yang sama 4/4, tapi ada yang temponya tidak menentu. Tergantung dari masing-masing lagu rakyat di setiap daerah. Setiap irama lagu di setiap setiap daerah dinyanyikan sesuai dialeg bahasanya. Itu yang membuat iramanya tidak konsisten dalam menyanyikan sebuah lagu daerah Papua.
Lagu-lagu daerah Papua lebih cocok dinyanyikan dan diiringi dengan alat-alat musik akustik: guitar, tifa, okulele, bas dua tali. Roh musik khas Papuanya ada di situ. Kalau kita pakai lagu Papua dengan alat musik seperti keyboard, guitar-guitar strom, bass strom, ada yang bagus dan ada yang kedengarannya tidak enak. Jika menyanyikan lagu-lagu Papua dalam musik-musik modern itu, kedengarannya akan enak kalau dalam aransemennya ada panduan instrumen okulele, dan tifa. Tapi kalau lagunya dinyanyikan monoton organ, itu tidak enak didengar, Setiap lagu dan musik Papua itu petikan bassnya tidak dengan elektronik. Bunyi musik okulele Papua juga beda dengan yang lain, seperti di PNG dan negara-negara Pasifik.
Baca Juga: Ruang ekspresi kita dan tuan Arnold Clemens Ap
Lagu-lagu dan tari-tarian daerah yang dikembangkan Mambesak kaya dengan keragamannya karena semua anggotanya mahasiswa Universitas Cenderawsih. Ada juga beberapa PNS diluar kampus yang punya bakat seni bersatu dengan mahasiswa. Waktu liburan, kalau ada mahasiswa yang pulang ke daerah, terutama anggota Mambesak, pulang wajib bawa lagu, kemudian diaransemen di Loka Budaya Uncen.
Selain itu, masyarakat yang mendengar musik Mambesak langsung mengirim lagu-lagu dari daerah ke Mambesak. Ada yang direkam di kaset, ada yang ditulis tangan lengkap dengan not-notnya, dibawa dan dilatih di Istana Mambesak di Uncen. Sehingga Mambesak tidak pernah kekurangan lagu-lagu dari setiap suku daerah di Papua.
Arnold Ap pernah mengatahkan bahwa, musik yang dikembangkannya adalah semi modern. Karena alat musik yang mereka pakai adalah kolaborasi alat musik: tifa, okulele (walaupun dijual di toko tapi mereka buat sendiri karena bunyinya beda), guitar bass (ada jual di toko, tapi mereka buat sendiri, guitar bass dua tali). Arnold Ap bilang inilah kami anak-anak Papua. Ini kami punya alat musik dan ini kami punya lagu-lagu. Kami tidak terlalu tradisional dan tidak terlalu modern. Tapi kami ada di tengah-tengah, karena kami ada kolaborasi musik. Dan itu kami orang Papua.
Sejak terbunuhnya Arnold Ap pada Minggu 21 April 1984 lalu hingga kini lagu-lagu kaset Membesak tidak diproduksi lagi, karena master lagu-lagu dan alat perekamnya ada di Papua New Guinea. Lagu-lagu Mambesak yang beredar sekarang adalah rekaman dari kaset ke kaset.
Dulu selain Mambesak, ada kelompok musik lain, seperti Yaromba Apuse, Mansayori, Kamasan, Yance Rumbino dan kelompoknya di Nabire juga dengan musik akustiknya serta beberapa kelompok musik lain, tapi tidak dilanjutkan, karena trauma dengan pembunuhan personil Mambesak. Situasi sebelum masa reformasi itu, kalau orang menyanyi lagu-lagu Papua itu dianggap OPM “ bisa ditangkap, dipukul, disiksa.
Akhirnya tidak ada pengembangan lagu-lagu daerah Papua, sehingga hanya terhenti di Mambesak. Dan tidak ada lagi yang melanjutkan atau mengembangkannya sampai pada 1990-an baru orang mulai menyanyi lagu-lagu Papua untuk Yosim Pancar untuk dilombakan. Tapi belum ada kelompok yang menyanyi khusus lagu-lagu Papua seperti Mambesak. Saya tidak tahu kendalanya di mana, tapi mereka tidak bertahan selamanya.tapi perjuang mereka akan selalu hidup berdampingan dengan generasi bangsa papua selamanya. Prinsip kami mati 1 tumbuh 1000 soekarno menyatakan berikan saya 10 pemuda supaya gojang dunia kami papua juga akan selalu hidup untuk hidup melawan kebijakan elit.
Disaat Pemerintah Indonesia dengan keras menyatukan rakyat Papua dengan budaya Indonesia,Arnold Ap hadir menanamkan identitas bangsa Papua melalui lagu-lagu.Spirit Of Mambesak tidak akan pernah terpadam di setiap generasi bangsa Papua.Semangat untuk membangun kebersamaan dan persatuan orang Papua harus tetap dilakukan tanpa memandang suku demi harkat dan masa depan Bangsa Papua. Seperti yang pernah dikatakan"Arnold C Ap
“Mungkin orang berpikir saya gila, tapi saya akan melakukan apa yang saya pikir bagi masyarakat saya sebelum saya meninggal”."BERNYANYI UNTUK HIDUP"
#36TahunArnoldApdibunuh
*)Penulis adalah Mahasiswa di Bandung
Posting Komentar
Posting Komentar