BUA6GOHrM7QLK6XOoFvYvIlTMmwhL9OgHFakY7mh

Valentine Day dan Mimikri Budaya

 

Valentine Day dan Mimikri Budaya

Perkembangan Pemahaman Kepapuaan Dalam Arus Budaya Barat


Penduduk dari Suku Asmat, Papua yang menggunakan pakaian adat dan membawa senjata tradisional berupa tombak.(Shuttersctock/Surgey Uryadnikov)

      

                Ucapan selamat hari kasih sayang menjadi topik hangat di berbagai kalangan juga mahasiswa. Terlebih khususnya bagi yang masih merasakan kasih dan sayang dari sahabat, kerabat dan kekasih serta keluarga dan lain sebagainya. Tidak terlepas juga para jomlo dan para bucin menumpahkan isi hati di dinding media social sebagai ajang pertunjukan representasi nilai kasih sayang yang pragmatis. Karena sudah bukan asing lagi orang menilai segala aspek dari apa yang mereka konsumsi di media social. Sebagai contoh: jika si gadis pacaran dengan si B dan si gadis itu tidak memberikan ucapan atau kado dihari valentine berarti si B menilai si gadis tidak menyayangi dia. Begitu juga sebaliknya. Keadaan seperti ini memang aneh dan terlihat berhala tetapi kita tidak bisa menyangkal hal tersebut. Nyata. Memang sering terjadi.

            Penilaiaan akan kadar cinta kasih yang menurut asalinya adalah tidak terucap, tidak terlihat, dan tidak terukur pun, sekarang bisa diukur dengan seberapa banyak postingan anda di berbagai akun media social tentang cinta kasih kepada orang. Karena itulah yang menjadi para meter rasa cinta anda kepada mereka. Bukan hal baru, bukan hal tabu, tapi ini realitas yang kadang disadari ataupun tidak sudah menjadi kebiasaan yang buruk. Penilaian semacam ini yang akhirnya akan membuat cinta kasih yang sudah bersemayam dalam diri seseorang menjadi jauh dan tidak terpanggil lagi.

            Sebelum masuk kedalam pembahasan yang lebih mendalam, saya ingin terlebih dahulu membatasi tulisan ini kepada hal -hal yang bersifat menjajah seperti makna kasih sayang dan cinta kasih, euphoria valentine day, budaya yang sedang melekat dan identitas yang sedang tersingkir. Saya tidak ingin membahas soal valentine day secara spesifik karena itu bukan bidang saya. Apalagi membahas soal media social dan tren masa kini, sungguh jauh dari kemampuan saya.

            Sepertinya kalian ini candu dengan budaya orang lain sambil menertawai budaya kalian sendiri. Kata -kata itu sempat diucapkan oleh kolega saya di salah satu warung kopi (warkop) ujung terminal ledeng dan saya masih ingat betul hingga skarang ini. Sontak saya kaget dan hampir saja membantah. Namun setelah saya merenung secara mendalam, akhirnya saya sendiri yang malu dan hanya mengucapkan terima kasih kepada kolega saya itu.

            Jika kita lihat secara presentase dari media social tentang euphoria Piala Dunia (Fifa Wordl Cup 2022 kemarin, maka kita akan menemukan nilai tertinggi di Indonesia timur. Sebab sebelum memasuki bulan desember, di dinding-dinding media social sudah penuh dengan dukungan tim pilihan masing-masing orang. Apalagi anak-anak mudah papua, terlalu gengsi dan baper. Hingga banyak sebab yang terjadi akibat dukungan dan fans tim (negara) kebanggan mereka. Hingga nekat untuk konvoi di kota-kota hingga paling sadis ada yang sampai merenggut nyawa saat konvoi. Saya tidak tahu apakah nanti mereka yang jadi korban ini akan di sebut pahlawan di negara yang didukungnya ataukah akan disebut sebagai martir.?  Sedangnkan di Indonesia sendiri khususnya tempat saya belajar (kota Pasundan) tidak ada sama skali konvoi, jarang nonton bareng (nobar), diskusi terkait Piala dunia tersebut. Euforia piala dunia sepertinya sudah dikhususkan untuk orang timur (khususnya orang papua).

                Kebanggan dan kesenangan merayakan piala dunia mulai awal hingga final, sudah menjadi budaya baru yang menyeluruh di kalangan manusia papua tanpa disadari hal itu akan berdampak kepada generasi mendatang. Artinya bahwa jika tradisi merayakan piala dunia setiap 4 tahun sekali itu tidak dibangun atas dasar suportifivitas tinggi, maka akan menjadi jurang pemisah sedikit-demi sedikit antara kubuh pendukung klub satu negara dengan yang lain.

                Keadaan serupa juga terjadi beberapa hari ini, dimana banyak anak mudah yang merayakan hari kasih sayang (valentine day). Setiap media social dihiasi dengan ucapan perayaan. Tidak terlepas juga ada yang tukaran kado, kasih coklat, bunga, dan lain sebagainya sebagai bentuk kasih sayang. Karena memang sudah diidentikkan dengan hal semacam itu. Hari valetine day seakan menjadi hari istimewah yang ditunggu-tunggu untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Menjadi moment yang penting dan Langkah karena dirayakan sekali dalam setahun.

                Perayaan-perayaan seperti piala dunia, hari valentine day dan berbagai hal lainnya yang selalu seakan disakralkan oleh anak-anak mudah papua ini tidaklah salah. Bukan melarang anak-anak mudah papua untuk merayakan. Tidak dalam hal itu. Tetapi, Dalam konteks ini, saya secara pribadi ingin menyampaikan perspektif dari sisi lain yang menurut saya sedikit janggal dan patut dipertanyakan.

                Di kalangan mahasiswa papua yang secara akdemis sudah terpelajar secara formalitas dan akreditasi, menjadi pelaku juga dalam perayaan mitos-mitos Yunani kuno yang menjadi budaya bar-bar orang barat. Seakan hari-hari itu sudah ditabiatkan dan ditakdirkan untuk anak-anak mudah papua. Seakan-akan apa pun kebobrokan budaya barat itu menjadi suci, menjadi muliah dan diagung-agungkan oleh kaum muda. Tidak sedikit juga di beberapa daerah di papua merayakan hari valentine dengan berdoa di gereja. Lalu yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah dimana budaya identitas anda.? Dimana budaya kritik anda sebagai mahasiswa.? Dimana budaya identitas anda sebagai orang papua.? Dimana nalar kritis anda sebagai pelopor dan pelajar.? Dimana kajian akademis anda terhadap sejarah dan budaya anda.?

                Pertanyaan-pertanyaan diatas itu menjadi dasar acuan bagi kita untuk lebih melangkah kedalam melihat bagaimana rekontruksi pemahaman manusia papua tentang jati dirinya yang semakin hari makin lemah dan teriliminasi oleh budaya luar. Yang seakan menjadi keharusan yang dirayakan itu.

                Hal terkecil dalam membaca bagaimana anak-naka muda papua merepresentasikan jati dirinya melalui berbagai hal dalam kehidupan dapat menjadi tolak ukur sejauh mana dan sampai dimana nasionalisme dan rasa kesadaran akan sejarah masa lalu serta budaya sebagai jati diri melekat didalam diri. Sebagai contoh disetiap tanggal 14 Februari di hari yang mereka rayakan kasih sayang (valentine day) adalah bulan dimana dilancarkannya program operasi militer koteka (1970-1972). Baca: operasi koteka oleh militer

                Operasi koteka ini adalah salah satu dari berbagai operasi militer yang dilakukan oleh ABRI (Militer Indonesia) dengan terstruktur, terencana, masif dan rapih yang didukung berbagai kepentingan ekonomi, politik, sumber daya, wilayah dan lain sebagainya. Dalam hal ini jika kita lebih detail melihat kasus operasi koteka, kita akan melihat wajah Indonesia yang sangat tidak manusiawi dan pandangan colonial serta pemaksaan yang mengarah kepada penghinaan identitas dan upaya pembasmian dan penghianatan terhadap budaya karena yang menjadi titik tengah (tujuan) dalam operasi koteka adalah dengan anggapan bahwa “memodernisasi” “mengsivilkan” mengadabkan” manusia papua yang masih primitive. Anggapan-anggapan demikian adalah kolonialisme terhadap suatu kelompok masyarakat terhadap budaya setempat. Aggapan primitive, tidak etis, bar-bar, belum beradab, dan lain sebagainya adalah stigma (buruk) yang sealu dilontarkan oleh orang barat yang selalu mengaggap bahwa bangsa timur belum beradab maka harus diadabkan. lebih lanjut, Baca: Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua

                Indonesia melalui berbagai pimpinan yang sesat pikir juga demikian, selalu menggap papua itu kuno, primitive, (dan label stigma buruk lainnya) sehingga mereka selalu beranggapan bahwa upaya memodernisasi itu perlu dilakukan melalui berbagai macam program. Seperti operasi, transmigrasi, dan lain sebagainya dengan dalil (jargon) mengadabkan orang papua. Disinilah kolonialisme sejak dalam pikiran itu terjadi. Rasis dan fasis serta diskriminasi sejak dalam pikiran colonial (Indonesia) sudah terbangun dan cenderung mewariskan sifat ke generasi berikut. Sebab selama operasi koteka itu berlansung,  rakyat papua yang ada di wilayah lembah baliem (lapago) di paksa oleh militer untuk meninggalkan budaya dengan cara mengumpulkan panah, alat-alat sacral budaya, Sali, koteka dan lain sebagainya dikumpulkan dan dibakar di depan umum. Hal ini militer lakukan dengan jargon “mengsivilkan” rakyat papua. Mereka menganggap kita orang papua tidak beradab, tertinggal, kuno, padahal itu budaya kita. Itu identitas kita, padahal tete nene moyang kita sudah hidup lama beratus tahun lamanya dengan budaya itu. Lalu mereka (militer) indonesia yang adalah orang luar, datang menghianati, merusak dan menghabiskan serta memusnakan budaya kita. Budaya orang papua. untuk lebih jelas, Baca: Kasus Kekerasan militer indonesia di Papua

                di lain sisi, budaya papua juga mengalami pemangkasan dan kemerosotan atas nama perbudakan dosa dan keselematan. Atas nama agama yang disebarkan dari budaya orang barat. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah budaya, dan manusia papua. Kenapa dalam sisi agama juga kita orang papua mengorbankan budaya.? Mari kita lihat secara garis besar.

                Sebelum jauh hari oto dan Geisler menginjakkan kaki di tanah papua (pulau mansinam), orang papua sudah lama ada dengan system religi lokal. Bahkan beribu ratus tahun lamanya sudah ada. Sudah hidup. Sudah melewati berbagai peradaban umat manusia. Secara garis besarnya adalah manusia papua sebelum agama orang barat datang, sudah ada dan hidup dalam persatuan budaya, identitas masing-masing suku, kelompok dan Bahasa. Baru setelah agama Kristen datang, maka persebaran agama mulai menyebar ke pelosok-pelosok negeri. Baik itu agama islam, agama Kristen ataupun katolik.

                Bukan dalam konteks menyeluruh semua agama yang masuk ke tanah papua adalah ancaman bagi budaya papua. Tetapi dalam hal-hal tertentu, agama barat yang masuk ke tanah papua mematahkan, bahkan memusnakan elemen-elemen dalam budaya dengan berbagai dalil. Contohnya beberapa daerah di papua sekarang, anak-anak dilarang memakai koteka dan Sali (moge) dilarang membawa panah atau busur serta memakai beberapa alat-alat local yang berbau dengan budaya setempat. Larangan ini sangat identic dan dipraktikkan oleh parah pemuka agama di daerah-daerah tertentu.

                Hingga anak-anak muda sekarang, secara sadar atau tidak, mereka berhadapan dengan banyak persoalan didalam mempertahankan budaya. Hal tersebut terjadi karena di beberapa tahun terakhir dalam abad ini, banyak program dan rencana pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah maupun oleh agama terhadap masyarakat selalu bermuara  kepada upaya pembunuhan budaya secara tersrtuktur. Dan oleh karena karena terstruktur dan dibungkus dengan isu pembangunan dan agama, maka manusia papua tidak banyak yang menyadari bahwa budaya mereka setiap hari melangkah menuju kepada gerbang kepunahan. Karena bagi kebanyakan orang papua, agama apapun yang diperintahkan oleh organisasi gereja maupun petinggi didalamnya adalah suatu berkat dan amanat yang harus diterima tanpa pertimbangan apapun.

                Akumulasi dari semua kejadian dan peristiwa yang kita selalu alami itu membuat kita menjalaninya dengan apa adanya. Pemerintah melalui kaki tangan borjuis local akan mempropagandakan segala program yang dilaksanakan itu adalah demi pembangunan dan kebaikan serta kemakmuran rakyat. Sementara gereja melalui petinggi-petinggi (kaki tangan) di daerah-daerah pelosok tanah papua akan mempropagandakan segala kebususukan mereka diatas altar (mimbar) sehingga jemaat (umat) dengan bersih dan mudah menerima semua itu sebagai suatu normalisasi. Jadi anggapan manusia papua adalah semuanya berjalan dengan normal. Apa adanya.

                Hasil akhir dari segala produk tidak bermoral yang dilakukan oleh negara dan organinasi agama melalui para pembantu (kaki tangan) mereka terhadap kepekaan dan kesadaran akan budaya di kalangan pelajar dan mahasiswa papua dapat kita lihat dari berbagai macam isu, dialog, pembahasan dan pemaknaan dalam karya serta tanggapan mahasiswa/pelajar papua terkait dengan sejarah kelam masa lalu kurang mendapatkan perhatian. Artinya bahwa mahasiswa (pelajar) papua kurang membuka ruang (terlihat pasif) untuk menelaah, mendiskusikan, membicarakan, segala peristiwa kelam (kejahatan negara dan agama) di masa lalu sebagai bentuk refleksi di masa yang akan datang. 

                Peniruan budaya luar dikalangan masyarakat khususnya bagi (mahasiswa dan pelajar) akan bertambah pesat tiidak terkendali lagi jika tidak ada Batasan-batasan khusu untuk mereka melihat masa lalu yang kelam sebagai suatu pembelajaran dan tumpuan pijakan ke depan. Dan juga perlu adanya dukungan yang terencana dan massif serta terstruktur dari berbagai pihak untuk membuat suatu garis lurus (peraturan) yang didukung penuh oleh masyarakat agar manusia papua tidak lari jauh keluar dari budaya asal mereka. Agar praktek mimikri budaya, ambivalensi dan hibriditas tidak terjadi di kalangan muda anak papua.

 



Nantikan Terbitan selanjutnya: Kontruksi Kepapuaan dalam Bayang Poskolonial Tulisan sepenuhnya adalah tanggung jawab Penulis/ Fm


Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar