Figure 1Komisi II DPR bersama pemerintah yang diwakili Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar melakukan kunjungan kerja ke Papua |
Tidak asing bagi
kita jika melihat banyak isu yang sudah, sedang dan akan terjadi sementara ini
berkaitan dengan Status Politik Pemekaran dan Keberlanjutan otonomi Khusus di
Tanah Papua. Semenjak berakhirnya masa Otsus Tahun 2021, Para Pejabat Papua
Semakin Besar kepala untuk melanjutkan Otsu jilid II Plus dengan Berbagai
kepentingan yang termuat didalam undang undang tersebut.
Tahun 2021-2022 di
berbagai media daerah, nasional dan internasional diwarnai dengan berbagai
aktivitas dan kegiatan yang mengarah kepada sikap rakyat dan elite Papua dalam
menyikapi hal tersebut. Baru-baru ini dunia Papua geger dengan isu dan berita
tentang Pemekaran Provinsi Baru. Baik dari isu 5 Provinsi sampai dengan 7
Provinsi sesuai dengan wilayah adat masing-masing.
Kenapa
Elite Papua Ambisi.?
Pertama dalam
pembahasan ini, yang saya maksudkan dengan elite adalah semua manusia yang
sudah masuk didalam Lembaga pemerintah
maupun swasta negara Indonesia baik dari segi kebijakan dan birokrasi di
seluruh tanah Papua. Kita bisa lihat berbagai macam isu yang sudah tersebar di
media bagaimana para pejabat Papua menyikapi segala kebijakan pemerintah
Jakarta terhadap manusia Papua. Ada yang menyambut semua itu sebagai anugerah,
ada juga yang menyikapi itu sebagai ketidakberdayaan, ada juga yang menerima
dengan menalar secara mendalam dan menyatakan sikap.
Lalu yang menerima
itu sebagai anugerah dan ketidakberdayaan, dikategorikan sebagai pahlawan oleh
Jakarta dan dipakai sebagai mewakili seluruh masyarakat Papua. yang menerima
dengan menalar secara mendalam dan menyatakan sikap dengan jelas, di cap
teroris dan separatis atau sebutan lainnya oleh Jakarta sesuai dengan kebiasaan
dan pandangan mereka selama ini terhadap manusia Papua.
Lalu kenapa para
elite Papua begitu naif untuk mengejar pemekaran provinsi baru (DOB) di tanah
Papua.? Secara sederhana dapat kita pahami secara ideal bahwa para elite Papua
hanya mengejar kepentingan kedudukan (jabatan) atau APBD yang akan disodorkan
oleh pemerintah pusat. Aspirasi untuk pemekaran tidak datang dari bawa (rakyat)
tapi datang dari kepentingan elite (pejabat) hal ini terkesan bahwa akan
menimbulkan distrust rakyat Papua kepada pemerintah. Ambisi para elite Papua
juga terlihat pada saat pernyataan sikap publik yang di sampaikan oleh mereka.
Misalkan saja Para Bupati dan pejabat lain yang tidak konsisten atas keputusan
dan kebijakan tersebut. Oleh karena
kepentingan "urusan" bisnis baik janji politik dan iming-iming
berbagai macam kepentingan yang bersifat sementara, para elite ini tergiur
untuk mengejar hal tersebut yang tidak bersifat permanen tapi sementara.
Terkadang juga mereka menggunakan isu ini untuk meloloskan diri mereka atas
praktek KKN yang sudah mereka lakukan.
Terlepas dari
berbagai peraturan dan faktor lain yang mempengaruhi alam bawa sadar para elite
Papua, salah satu faktor yang membuat mereka bagai manusia tak bermoral adalah
karena tidak adanya alternatif solusi. Kekurangan alternatif ini disebabkan
juga oleh kurangnya pengetahuan tentang sejarah, antropologi, nasionalisme,
multikultural, dan sosiologi hukum tentang rakyat Papua serta tidak
konsistennya mereka atas martabat diri mereka sendiri.
Jika kita amati,
Pasal 76 UU Otsus menyebutkan, “pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi
dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia, dan
kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang."
Sekarang kita
berkaca dalam realitas, apakah Manusia Papua sudah siap sumber daya
manusianya.? Keadilan dan ekonominya.?
Sudah barang tentu
semua itu hanya akan menjadi angan-angan yang tak tersampaikan ke hati rakyat
Papua. Sebaliknya atas ambisi para elite Papua untuk pemekaran wilayah
(Provinsi) maka marginalisasi dan pemusnahan etnis Melanesia diatas bumi Papua
sudah di depan pintu.
Degradasi
Jiwa Mahasiswa
Tanpa harus
dijelaskan lagi, mahasiswa yang mempunyai peran penting dalam perubahan
kehidupan sosial masyarakat secara nyata di saat seperti ini malah menjadi
budak negara yang memperpanjang waktu penderitaan dan kekerasan yang terus
terjadi di seluruh tanah air Papua barat. Sebagai kaum intelektual dan anggota
mayarakat yang punya nilai tambah, mahasiswa harusnya mampu memperankan diri
secara profesional dan proporsional di masyarakat ataupun di dunia pendidikan.
Peran mahasiswa tidak sekedar kegiaan pembelajaran di bangkau perkuliahan, di
perpustakaan dan aksess internet yang ada hubungangannya dengan disiplin ilmu
yang sedang ia tempuh namun lebih dari pada itu yaitu bagaiaman dia (mahasiswa)
menjadi pilar atas perubahan kondisi masyarakat secara nyata.
Sekarang,
mahasiswa mengalami degradasi moral (jiwa) sebab kepentingan elite bergantungan
di pundak mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang harusnya menjadi acuan pergerakan
rakyat menjadi kuda kepentingan kaum kapital (elite) guna meloloskan segala
rencana yang sepihak. Terlebih khususnya dalam masalah Menyikapi Keberlanjutan
Otonomi khusus jilid II di Papua dan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di
tanah Papua. Segelintir Mahasiswa Papua Apatis dan kehilangan identitas
mahasiswanya. intelektual mereka dibeli dengan kepentingan elite yang
memanfaatkan mereka sebagai kuda meloloskan segala ambisi.
Kita ambil contoh
beberapa mahasiswa Papua di Jawa barat dan Jakarta yang sering muncul di media
dengan narasi -narasi mendukung kebijakan pemerintah yang jelas-jelas itu
merugikan banyak orang dan menyengsarakan rakyat Papua tapi mereka seakan buta
melihat semua itu.
Mereka-mereka ini,
secara total kehilangan kendali atas statuta dan jiwa (roh) yang terkandung
didalamnya. Sehingga anggapan remeh dan jiwa superior muncul dalam diri
sehingga melahirkan bibit apatisme. Akibatnya kebanyakan dari mereka menarik
diri dari realitas sosial dan bersembunyi dibawa iming-iming kolonial.
Jika kita lihat
dari sejarah, kebanyakan mahasiswa yang selalu jadi kuda kepentingan elite itu
berasal dari daerah yang dulunya pernah terjadi peristiwa kemanusiaan yang
sangat memilukan dan membekas sebagai ingatan penderitaan (memoria passionis)
bagi rakyat Papua.
Kita ambil contoh
di Wamena, dulu tahun 1971-1972 pernah terjadi operasi koteka yang mana
masyarakat dipaksa untuk membakar koteka, panah, alat-alat religi, dan lain
sebagainya untuk ganti digantikan dengan pakaian yang lebih dianggap modern
yang berujung pada penghianatan terhadap budaya. Lalu Kejadian di Wamena pada 6
Oktober tahun 2000 itu menyebabkan tujuh orang Papua dan beberapa pendatang
meninggal dunia serta kasus Wamena
berdarah tahun 2003 yang menurut Hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa
ini menyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan 4
(empat) orang warga sipil tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan, sebanyak 5
(lima) orang menjadi korban penghilangan paksa dan satu orang menjadi korban kekerasan
seksual.
Semua hal diatas
ini menjadi cermin bagaimana masyarakat Papua menjalani kehidupan dalam
(Memoria passionis) semenjak 1961 hingga pepera 1969 yang tidak terlaksana
sesuai jalur internasional (one man one vote) tapi dilaksanakan ala indonesia
(musyawarah) cara kuno kolonial, dengan alasan geografis dan ketertinggalan
rakyat Papua. Sehingga Pepera diwarnai dengan intimidasi dan penghilangan paksa
demi meloloskan imperialisme dan kapitalisme di bumi Papua dengan perizinan PT.
Freeport dan awal mula pendudukan paksa diatas bumi Papua.
Mahasiswa Papua
kini, secara tidak sadar telah terbentuk mental penjajah secara perlahan.
Hingga kini dalam praktek sebagai seorang mahasiswa sangat dangkal akan
pengetahuan tentang sejarah dan masa lalunya hingga dengan mudah di ninabobokan
dan menghianati pengorbanan serta perjuangan para pendahulu.
Keadaan
inkonsisten dan degradasi jiwa mahasiswa papua ini sangat disayangkan bila kita
tinjau dari sisi antropologi dan sosiologis historis peradaban manusia Papua
yang mempunyai sejarah pergerakan rakyat Papua yang sangat panjang dan penuh
pengorbanan nyawa manusia. karena pijakan mereka tidak kuat untuk melihat suatu
persoalan secara mendalam.
Karena Tidak mampu
menalar historis panjang tersebut secara mendalam dan komprehensif maka, Secara
alam bawa sadar mereka (mahasiswa Papua) yang selalu tergiur dengan janji-janji
manis kolonial, secara terstruktur tidak menyadari jika mereka dijadikan alat,
seperti wayang yang dipermainkan secara cantik dan rapi oleh dalangnya.
Sampai disini,
kita bisa lihat secara garis besar kita bisa menarik benang merah bahwa
mahasiswa Papua yang kadang menjadi perpanjangan tangan elite dan kolonial ini
dipakai oleh negara untuk memperpanjang penderitaan dan penjajahan yang terus
terjadi di atas tanah Papua.
Hanya ada dua
pilihan bagi seorang penghianat. memberikan perbaikan agar mempunyai alternatif
ketidakmampuan mereka dalam mengatasi berbagai faktor yang mereka hadapi atau
bersihkan debu yang masih melekat. ...........
Kamuflase
Pemerintah
Tidak asing lagi
bagi kita untuk menyaksikan berbagai fenomena dan tampilan di Berbagai media
terkait upaya kamuflase pemerintah pusat. Contohnya adalah dengan memakai
sarana atau pakaian adat Papua saat pembahasan sesuatu
Selain elite lokal
(pejabat Papua) salah satu faktor utama dalam membicarakan keadilan dan
kebebasan bagi rakyat Papua hari ini adalah pemerintah pusat (Jakarta).
Dari berbagai daya
upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat demi kepentingan hegemoni politik,
pernyataan terakhir dari ketua komisi II DPR RI menyatakan bahwa " soal
Otsus dan DOB, Mayoritas Rakyat Papua Mendukung DOB di tanah Papua"
pernyataan tersebut di ungkapkan dalam media......... (25/06/2022)
Selain dari pada
itu, mari kita lihat secara garis besar mengapa pemerintah pusat begitu ambisi
mengesahkan DOB di tanah Papua tanpa mendengarkan MRP, DPRP dan Seluruh Rakyat
Papua.
Salah satunya
adalah dengan melihat segala kebijakan pemerintah Jakarta terkesan dipaksakan
tanpa melibatkan rakyat maupun representasi rakyat Papua, cara ini adalah cara
kuno yang mereka pakai, sama seperti dulu saat mau melakukan Pepera di seluruh
tanah Papua, ABRI hanya memanggil beberapa orang saja yang memang sudah di
intimidasi, di teror dan di siksa dalam rangka menyiapkan konsep meloloskan
segala rencana busuk mereka.
Selanjutnya adalah
kita bertanya bersama apakah otonomi Khusus dan DOB itu diperlukan oleh Rakyat
Papua atau tidak.? Jawabannya adalah tidak. Karena kedua hal tersebut adalah
Nasionalisme Jakarta. Bukan keinginan Rakyat Papua Secara Total. Sedangkan Seluruh Masyarakat dan Instansi
serta Lembaga Yang Menyuarakan Hak dan Martabat Manusia Papua di cap dengan
Stigma bahwa mereka itu teroris,. Mereka itu KKB, mereka itu KKSB dan sebutan
lain yang selalu mereka pakai.
Nasionalisme orang
Papua dipotong dengan paksa. Dihilangkan dan dihapuskan secara sistematis dan
Terencana. Baik dari segi sejarah,
Pendidikan, Politik, sosial, Budaya dan Kesehatan. Sehingga Terciptanya
Pembungkaman Ruang Demokrasi.
Kesimpulan
Melihat dari
sejarah panjang masalah yang sudah dan sedang terjadi di tanah Papua serta
menimbang dari berbagai pernyataan dan pemerintah yang terus berganti dengan
segala kebijakan yang tidak bersifat humanis namun lebih kepada militeristik
dan eksploitatif dan berkesan mementingkan sumber daya alam dari pada sumber
daya manusia maka dapat kita simpulkan bahwa segala macam cara, rencana dan
daya upaya yang dilakukan oleh Jakarta dengan berbagai narasi dan iming-iming
hanya menjadi perpanjangan kontrak penderitaan rakyat Papua, karena segala
kebijakan tersebut tidak pernah menyentuh kebutuhan (needs) dari pada orang
asli Papua namun lebih kepada pemaksaan.
Sehingga
paksaan-paksaan tersebut lebih memperlihatkan kehausan dan ambisi elite Jakarta
yang bersekongkol dengan para elite lokal guna mengejar segala yang mereka
inginkan.
Maka Pemberian
Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua adalah solusi yang Paling demokratis
demi menegakan keadilan dan kebenaran diatas bumi Papua.
[Fransiskus Iyai]
Posting Komentar
Posting Komentar