BUA6GOHrM7QLK6XOoFvYvIlTMmwhL9OgHFakY7mh

MENGENANG 6 TAHUN PERISTIWA PANIAI BERDARAH

 

Poster Tragedy Paniai Berdarah (Franz M)

Oleh: Mapiha F


Presiden indonesia Jokowidodo sepertinya mabuk kepayang dan gila jabatan setelah dirinya dilantik menjadi presiden Republik indonesia periode (2014-2019) di Gedung DPR/MPR Jakarta hari senin Pagi tanggal 20 Oktober 2014.

Jokowidodo dan Yusuf kalla dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden ke 7 setelah memenangkan Pemilu pada 9 Juni 2014.

Dalam statistik perolehan suara Pilpres 2014 yang dilansir sebagaimana oleh Badan PusatStatistik (BPS) di situs resminya, dapat dilihat Bahwa Pasangan calon no urut 1 Jokowi-Yusuf kalla Memperoleh suara paling banyak dari Papua dengan skala Provinsi Papua sebanyak 90,66% sementara Provinsi Papua Barat sebanyak 79,81%.

Suara Paling terbanyak kepada calon presiden jokowi-yusuf mendapat dukungan penuh dari rakyat papua, Bahkan jokowi tampil sebagai malaikat bagi manusia papua karena saat menjabat sebagai wali kota solo, beliau bersahabat dengan rakyat dan lansung turun lapangan.

Karena kebiasaan dia lansung terjun ke lapangan Inilah yang mendorong mayoritas rakyat papua memilih jokowi. Bahkan suara paling terbanyak setelah bali.

Baca Juga : Kematian dan cara menyikapinya

Masyarakat papua berharap agar setelah jokowi jadi presiden dia dapat mengunjungi papua dan menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Serta dapat melihat kondisi dan keadaan kehidupan masyarakat papua yang sebenarnya.

Waktu berlalu bagai busur meleset dari panah, sesudah 1 bulan 17 Hari jokowi dan yusuf kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, Terjadi pembantaian di Paniai.

Angin tak selalu bertiup dari barat, begitu juga harapan tak selalu sepadan dengan kenyataan. Bak guntur ditengah siang hari menggelegar di angkasa raya.

Dari hasil rilis yang dikeluarkan oleh ELSAM Papua, Peristiwa Paniai Berdarah bermula ketika para pemuda di Pondok Natal menegur seorang pengendara motor yang melintas karena tidak menyalakan lampu.

Para pemuda itu mengingatkan si pengendara motor untuk menyalakan lampu karena jika itu tidak dilakukan dapat membahayakan. Tapi si pengendara motor tidak terima ditegur dan mengancam akan kembali dengan membawa rekan-rekannya. Setelah kembali bersama beberapa temannya, si pengendara motor itu melakukan penganiayaan kepada pemuda yang menegurnya. 

Baca Juga : Ikatan mahasiswa se-tanah papua bandung jawa barat menolak otsus dan menyatakan sikap

Dari hasil visum di RSUD Paniai, salah satu korban yang bernama Yulianus Yeimo mengalami luka akibat pukulan popor senjata laras panjang. 

Mendengar kabar itu,masyarakat sekitar Pondok Natal marah dan menutup jalan utama Madi-Enarotali Km 4. Kemudian, kendaraan yang dikendarai Danki TNI 753 melintas dan terdengar suara tembakan.

Menurut catatan Komnas HAM ada 11 korban dalam peristiwa di Pondok Natal dan semuanya anak-anak. Para korban mengalami luka tembak dan penyiksaan.

 Kejadian selanjutnya terjadi pada 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobay. Masyarakat yang ketika itu berkumpul di lapangan diberondong tembakan tak henti-henti oleh TNI/POLRI. 

Akibatnya, empat remaja tewas tertembus timah panas dan belasan lainnya luka-luka. Dalam pembantaian itu, Mereka yang Mati tertembak adalah anak sekolah, Impian dan harapan mereka untuk melanjutkan Sekolah ke jenjang yang lebih tinggi kini hilang, musnah  kandas diterjang Peluruh Timah Panas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Baca Juga : Belanda dalam Pelukan Insos

Benang merah dari kejadian peristiwa pembantaian adalah 5 Orang Mati ditembak, dan 18 Orang Mengalami Luka-Luka. Dan Peristiwa ini adalah Pelanggaran HAM berat Pertama di Rezim Jokowi. Sebagaimana yang ditetapkan oleh Komnas HAM dalam rapat Paripurna 3 Februari 2020. selengkapnya baca disini

Sementara respon jokowi sangat minim yaitu hanya dengan berjanji membentuk tim penyelidikan atas kasus Pelanggaran HAM berat tersebut. Sebagaimana yang disampaikan lansung oleh jokowi saat menghadiri natal bersama 2014 di Jayapura.

Korban Paniai berdarah 2014. (Ist - SP)

Penyakit bernama "kan sudah lama"

Saya menanyakan penyakit "kan sudah lama" ini karena dengan ungkapan dan pemahaman demikian, pemerintah seakan memilih diam dan tidak pernah serius dalam menyelesaikan berbagai konflik dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Baca Juga: Siapa yang Pergi ke surga dan Mengapa.?

Seperti yang Pernah dikatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto yang muncul dengan solusi unik khas Jakarta.  Pada Oktober 2016, Ia mengatakan sedang menyusun mekanisme di luar hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus kekerasan hak asasi manusia di Indonesia. Mengapa tidak melalui jalur hukum? “Sebagian besar kekerasan tersebut terjadi sudah lama. Beberapa yang terjadi pada tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Pada intinya kita berkomitmen untuk menyelesaikan kekerasan-kekerasan ini, namun terdapat proses yang harus dijalani,”

Pemahaman seperti diatas inilah yang Membuat proses hukum dalam negeri ini tersendak Terus menerus. Dan lebih parah lagi, jokowi hanya gila dengan pembangunan infrastruktur, dan pembangunan fisik. Tidak menyentuh needs orang papua. "Kami bukan gila bangunan tapi kami mau keadilan"

Baca Juga: Kekasih bayangan

Sama halnya juga karena dianggap kasus lama, kasus-kasus lainnya pun dalam penyelesaian diserahkan kepada Kejaksaan Agung yang tidak lain memiliki Catatan buram masa lalu, Salah satunya lembaga ini pernah menghilangkan Hasil Laporan Investigasi Tim Pencari Fakta terkait pembunuhan Aktifis HAM, Munir Said Thalib.

Lembaga Kejaksaan Agung ini juga,  Sudah dua Kali menolak Hasil Laporan Investigasi Oleh Komnas HAM terkait Pembunuhan Massal di Paniai Berdarah.

Sampai kini jokowi masih belum sadar juga dari mabok kepayangnya. Masih tergila-gila karena urusan infrastruktur yang diagung-agungkan pembangunannya di papua. Karena memang yang tertanam dalam. Kepala jokowi itu hanya pembangunan, dengan moto kerja, kerja, kerja. Tidak peduli masa lalu, tidak peduli pelanggaran HAM yang terjadi. Sementara masyarakat papua menderita fisik dan batin. Semakin suram masa depannya.

Keadaan Psikologis dan Psikososial Korban.

Dalam hukum indonesia, kita tahu bahwa pihak korban seharusnya mendapat Perlindungan dan Bantuan hukum seperti yang tertera dalam PP Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Perlu diketahui bahwa 7 Desember 2018 keluarga korban Paniai Berdarah datang ke kantor Amnesty jakarta dan dengan Tegas menyatakan bahwa kami telah menolak uang 4 Milyar yang diberikan oleh Pemerintah sebagai Kompensasi.

Baca Juga : 36 Tahun Arnold Clemens Ap dibunuh

Sepertinya pemberian berupa uang inilah yang dimaksud sebagai penyelesaian secara baik-baik oleh Wiranto.

dalam kasus paniai berdarah, tidak ada restitusi yang dijalankan baik dari pemerintah maupun dari lembaga LPSK (lembaga Perlindungan saksi dan Korban). 

masyarakat bekerja sama menguburkan korban di lapangan karel gobay (doc,wagadei)

Psikososial dan psikologi korban masih membara hingga kini, sehingga dalam setiap saat aktivitas masyarakat korban, teror dan intimidasi terus berlanjut. Apalagi dalam masa penyelidikan oleh komnas HAM.

Keadaan psikologis korban dan saksi secara perlahan terganggu dan mengalami guncangan yang amat hebat hingga berdampak pada diri seperti sakit kepala, stress, trauma, takut menceritan peristiwa kepada tim investigasi dll. Bahkan salah satu pemuda yang ikut menguburkan 5 orang yang tewas itu, mendapat pukulan dari preman. 

Baca Juga: Mengenal Literasi dalam Konteks Papua

Keluarga korban mengalami keadaan trauma akan ingatan penderitaan masa lalu yang dialami. Sehingga tidak berani walau menceritan kembali peristiwa Paniai berdarah. Karena diancam dan diintimidasi.

Di papua keadaan serupa seperti di Paniai berdarah ini juga banyak terjadi. Salah satunya adalah wasior berdarah, biak berdarah, wamena berdarah, jayapura (Abe) berdarah dan masih banyak peristiwa pembantaian lainnya di Papua.

Saking banyaknya Pembunuhan manusia Papua, Sehingga kita gampang menghitung jumlah orang Papua dan tidak dapat menghitung kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap Rakyat Papua.

Jokowi menang telak, wajah jokowi kini bercampur keringat manusia indonesia yang tersingkirkan oleh rezim yang lalim dan wajah jokowi terbungkus darah ribuan korban Manusia Papua.

 

 

 

 

 

 *) Artikel Ini sepenuhnya Tanggungjawab Penulis

 

Gubuk derita Sersan Bajuri

8 Desember 2020

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

1 komentar

Posting Komentar