foto diambil dari indoprogress.com |
Oleh: Papuano
Etnosida, Sejarah dan Pengertian
Istilah Etnosida pertama kali diciptakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944. Lemkin adalah seorang Yahudi Polandia dan pengacara hak asasi manusia yang melarikan diri dari Eropa ke Amerika saat Partai Nazi naik ke tampuk kekuasaan. Selama di Amerika dia bekerja untuk meningkatkan kesadaran akan kengerian yang menimpa rakyatnya.
Karena militer dan pemerintah Amerika tetap lambat untuk bertindak dan memahami parahnya kekejaman yang melanda Eropa, Lemkin menyimpulkan bahwa dia perlu membuat kata-kata untuk mengklarifikasi kebiadaban pembunuhan sistematis berskala besar yang dilakukan oleh Nazi. Untuk melakukannya, dia menemukan kata "genosida" dan "etnosida" untuk mengartikulasikan kejahatan yang sebelumnya tidak disebutkan namanya.
Dari awal lahirnya konsep etnosida, ia tak dapat lepas dari induknya yaitu genosida. Menurut Lemkin, genosida tidak selalu berarti kehancuran suatu bangsa secara langsung, kecuali jika dilakukan dengan pembunuhan massal. Tetapi lebih dimaksudkan untuk menandakan rencana terkoordinasi dari berbagai tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan fondasi penting kehidupan kelompok nasional, dengan tujuan memusnahkan mereka.
Baca Juga: Cinta Bagiku
Tujuan dari rencana itu adalah disintegrasi institusi politik dan sosial — budaya, bahasa, perasaan nasional, agama, dan keberadaan ekonomi kelompok-kelompok nasional, dan penghancuran keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat, dan bahkan kehidupan individu yang termasuk dalam kelompok tersebut. Genosida diarahkan pada kelompok nasional sebagai suatu entitas, dan tindakan yang terlibat diarahkan pada individu, bukan dalam kapasitas individu mereka, tetapi sebagai anggota kelompok nasional.
Bagi Lemkin genosida memiliki dua fase: "satu, penghancuran pola nasional kelompok tertindas; yang lain, pemberlakuan pola nasional penindas." Jika kedua syarat ini terpenuhi, genosida, menurut pandangan Lemkin, telah terjadi, bahkan jika setiap anggota kelompok sasaran selamat dari proses secara fisik.
Lemkin membayangkan bahwa genosida dan etnosida dapat dipertukarkan karena target pembunuhan (cide) dan teror yang sebelumnya tidak ditentukan ini adalah orang-orang (genos) dengan budaya, bangsa, dan etnis (ethnos) tertentu. Namun dalam komunitas hukum internasional, konsep etnosida menjadi genosida karena ketika seseorang dimusnahkan atau disingkirkan secara paksa dari rumahnya, budaya mereka juga ikut mati.
Bartolomé Clavero membedakan genosida dan etnosida dengan menyatakan "Genosida membunuh orang sementara etnosida membunuh budaya sosial melalui pembunuhan jiwa-jiwa individual”, sedangkan menurut Robert Julian, etnosida adalah penghancuran sistematis pemikiran dan cara hidup orang yang berbeda dari mereka yang melakukan usaha penghancuran ini. Sedangkan genosida membunuh orang-orang di dalam tubuh mereka, etnosida membunuh mereka dalam jiwa mereka.
Baca Juga: Hanya Kamu
Dalam perkembangan awal konsep/ pengertian etnosida sendiri mendapat pertentangan dan kontroversi. Rancangan asli Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, yang disiapkan oleh Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berdasarkan karya Lemkin, termasuk definisi genosida fisik, genosida biologis, dan genosida budaya (yang kemudian berkembang menjadi etnosida). Genosida budaya didefinisikan sebagai berikut:
Menghancurkan ciri-ciri khusus kelompok dengan
1. pemindahan paksa anak-anak ke kelompok manusia lain; atau
2. pengasingan paksa dan sistematis individu yang mewakili budaya suatu kelompok; atau
3. larangan
penggunaan bahasa nasional bahkan dalam hubungan pribadi; atau
4. penghancuran sistematis buku-buku yang dicetak dalam bahasa nasional atau karya keagamaan atau larangan terbitan baru; atau
5. penghancuran sistematis monumen sejarah atau religius atau pengalihannya untuk digunakan oleh orang asing, penghancuran atau penyebaran dokumen dan objek yang memiliki nilai sejarah, seni, atau religius dan objek yang digunakan dalam peribadahan religius.
Satu-satunya ketentuan dalam Konvensi yang akhirnya diadopsi yang dapat digunakan untuk melawan etnosida adalah Pasal 2 (d) (tentang pencegahan kelahiran) dan (e) (pemindahan paksa anak). Karena pencantuman genosida budaya dalam Konvensi terbukti kontroversial dan akhirnya ditolak, beberapa orang berpendapat bahwa teks Konvensi Genosida yang sekarang tidak termasuk konsep genosida budaya. Namun, sekarang ada lebih banyak kesadaran tentang seringnya genosida fisik dan budaya yang sering ditembus, serta kebutuhan untuk melestarikan budaya yang terancam.
Baca Juga: Bapa Yang Kekal
Meskipun demikian, ada baiknya untuk memiliki istilah terpisah untuk ini, karena penggunaan populer telah mengikuti definisi terbatas dalam Konvensi Genosida yang hanya merujuk pada pemusnahan fisik orang. Beberapa ahli teori telah menyarankan penggunaan etnosida untuk menggambarkan penghancuran yang disengaja dari kelompok sosial, ras, agama, etnis, dan bahasa.
Etnosida dalam pengertian itu akan mencakup eksogami wajib, kehamilan paksa, pencegahan kelahiran, pemindahan anak, desakan pada pendidikan arus utama tanpa pendidikan dalam budaya mereka sendiri, larangan penggunaan bahasa ibu, distorsi sejarah, dan diskriminasi dalam akses ke budaya. sumber daya. Asimilasi wajib yang direncanakan, sering kali memanfaatkan aktivitas semacam itu, akan termasuk dalam konsep itu. Efek merusak dari semua kebijakan semacam itu, bahkan jika dianggap mewakili kemanusiaan yang tercerahkan, adalah hilangnya keragaman kreatif.
Baca Juga: Mengenang 6 Tahun Paniai Berdarah
Dari perkembangan dan pengertian menurut beberapa ahlidiatas, dapat kita lihat bahwa etnosida merupakan bagian atau sub dari genosida itu sendiri, dalam suatu etnosida, berbagai jenis kekerasan terjadi, seperti perampasan tanah, agresi verbal dan fisik, pemusnahan kelompok etnis, larangan bahasa asli dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan yang dipaksakan.
Jadi dapat disimpulkan etnosida adalah kebijakan dan proses yang dirancang untuk menghancurkan suatu kelompok etnis tertentu, dengan cara menghancurkan kebudayaan, bahasa, sendi- sendi kehidupan social, juga secara langsung atau tanpa langsung melakukan pembunuhan terhadap kelompok etnis/ras/bangsa dengan tujuan/alasan tertentu.
Sebenarnya jika dilihat dari sejarah dan situasi di Papua dari awal trikora hingga anekisasi pada 1969, dan operasi-operasi militer yang dilakukan hingga saat ini, berdasarkan teori-teori dan pengertian yang dikemukakan, yang terjadi di Papua lebih tepatnya adalah genosida. Tetapi disini kita mengangkat topik etnosida, karena selama ini kurang atau belum terlalu dibahas oleh mahasiswa dan masyarakat luas, yaitu bagaimana penghancuran budaya, dan sendi- sendi kehidupan social orang Papua.
20 Tahun Implementasi Otsus Dan Etnosida Yang Terjadi Di Papua
Ketika rezim orde baru berakhir pada pertengahan tahun 1998, konflik dan isu untuk kemerdekaan Papua semakin bergejolak di dalam dan di luar Indonesia. Persoalan ini membuat seluruh pemerintahan paska rezim orde baru berupaya keras untuk memikirkan sebuah solusi alternatif bagi penyelesaian konflik yang terjadi di Papua. Desakan dunia Internasional turut mempengaruhi seluruh kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap Papua waktu itu.
Di saat- saat itu, munculah “Tim 100” yang terdiri dari 100 orang wakil tokoh masyarakat Papua kepada presiden Habibie di Jakarta pada senin 26 Februari 1999. Pertemuan Tim 100 itu menyampaikan keinginan masyarakat Papua untuk merdeka, berpisah dari Indonesia, tetapi B.J.Habibie menjawab dengan singkat ’’aspirasi yang anda sampaikan itu penting, tetapi mendirikan Negara bukan perkara mudah, pulang dan renungkan kembali aspirasi itu”.
Pada tanggal 4 Oktober 1999 Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 Tentang Pemekaran Papua menjadi tiga Provinsi : Provinsi Irian Jaya Timur, Irian Jaya tengah, dan Irian Jaya Barat. Namun demikian tawaran yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua, ditolak seratus persen oleh rakyat papua karena ini dianggap sebuah gula-gula politik Indonesia untuk mematikan Semangat orang Papua merdeka.
Baca Juga: Kematian dan Cara Menyikapinya
Penolakan itu rakyat papua wujudkan dengan semangat turun jalan aksi demonstrasi besar-besar menduduki kantor DPRP dan kantor Gubernur Papua di Jayapura selama 3 tiga hari, dari tanggal 14-16 oktober 1999.
Indonesia menyodorkan hadiah yang kedua yaitu Bungkusan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, (MPR RI) menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang-Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g).
Dalam ketetapan MPR RI Nomor 14/Tahun 2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi khusus tersebut melalui suatu penetapan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dengan memperhatikan aspirasi Masyarakat. Walaupun tetap ditolak oleh rakyat Papua, Jakarta tetap memaksakan dan menjalanakan agenda dan kepentingannya, agar Papua tidak lepas dari Indonesia.
Baca Juga: Belanda dalam Pelukan Insos
Sejak awal UU Otonomi Khusus Papua disahkan pada 2001 hingga saat ini tepat sudah 20 tahun, otsus telah gagal, sebab ia tidak menjawab dan menyelesaikan permasalahan- permasalahan di Papua. Akar konflik dan permasalahan di Papua baik sejarah politik, pembunuhan dan kasus-kasus ham yang tidak diselesaikan, terus menimbulkan konflik dan menambah masalah baru dari tahun ke tahun.
Hadirnya otsus tidak memberikan “hak otonomi” itu sendiri bagi orang Papua untuk dapat mengatur diri sendiri, tetapi otsus kemudian menjadi kumpulan aturan yang dibuat dan dikendalikan oleh Jakarta/ pemerintah pusat untuk menjalankan kepentingan elite politik, didorong dan dengan diboncengi aparat TNI/Polri secara sistematis dan terstruktur men Yang dimana kepentingan - kepentingan mereka memarjinalisasikan dan meminggirkan orang Papua, menghancurkan sendi sendi kehidupan orang Papua.
Kemudian bagaimana otsus itu membawa etnosida dan melanjutkannya sama dengan melanjutkan etnosida bagi orang Papua ? Untuk menjawab ini kita dapat berkaca dan melihat bagaimana atau apa saja yang terjadi selama otsus ini ada ? Apa dampaknya bagi Orang asli Papua?
Implementasi Otsus selama 20 Tahun dalam masyarakat di bidang :
HAM : Kasus ham selalu muncul tiap tahun dan selalu mengalami kebuntuan dalam penyelesaiain dan impunitas bagi pelaku kejahatan ham (dalam hal ini kebanyakan aparat keamanan sendiri), Contoh Wasior Berdarah (2001), Wamena (2003), Paniai(2014), Deiyai(2017),Nduga(2018). Berkaitan juga dengan pembunuhan masyrakat adat yang menolak daerahnya dimasuki oleh perusahaan- perusahaan, terror dan paksaan dari perusahaan dan juga kadang menggunakan aparat.
Pendidikan : Kurikulum pendidikan tidak berbasis kebudayaan local, semua pengetahuan dan pembelajaran selalu jawasentris, tidak ada pengetahuan dan sejarah yang menggali tentang budaya local. Sehingga budaya, pengetahuan, kearifan local dan identitas orang Papua pun perlahan- lahan menghilang.
Baca Juga: Siapa yang pergi ke surga dan mengapa.?
Kesehatan : Penanganan gizi buruk, kualitas barang dan fasilitas penunjang kesehatan yang tidak memadai, angka kematian di daerah sangat tinggi.
Kebudayaan : Penghancuran identitas budaya masyarakat melalui larangan dan stigma yang dibuat oleh pemerintah maupun lembaga pendidikan, seperti dan tidak boleh berambut gimbal, membawa parang disebut criminal, menggunakan pakaian adat disibut pornografi.
Lingkungan : Penghancuran lingkungan masyarakat adat (Freeport,Nemangkawi), ikatan sosio kultur masyarakat adat dengan alam, pemarjinalisasi masyarakat adat dari tempat tinggal dan lingkungan hidup.
Ekonomi : Pangan lokal tidak diakomodir, pangan local (keladi, petatas, sagu, dll) dimatikan oleh pangan dari luar, orang Papua dibuat bergantung pada beras dari pulau jawa, pasar2 dikuasai oleh amber/ pendatang
Baca Juga: Mengenal Literasi dalam Konteks Papua
Transmigrasi yang dilakukan baik oleh usaha pemerintah maupun secara “sukarela” oleh pendatang, mengubah susunan dan tatanan social masyrakat adat, semakin termaginilisasi dan terpinggirkan
Pertanyaan :
1. Bagaiamana menurut anda peran Otsus dalam menjamin identitas dan eksistensi orang asli Papua selama ini?
2. Apakah anda baik orang asli Papua maupun orang Indonesia mempunyai pengalaman atau mengetahui bahwa orang Papua sedang mengalami etnosida dan genosida di tanahnya sendiri ? Jika pernah mengalami atau mengetahuinya bolehkah anda berbagi cerita?
3. Bagaimana menurut anda sikap pemerintah Indonesia selama ini dalam menyikapi permasalahan Papua, apakah pemerintah telah benar-benar mendengar dan menampuh aspirasi rakyat Papua?
4. Saat ini Indonesia sedang hangat diperbincangkan bagaimana kelanjutan Otsus di tanah Papua, bagaimana menurut anda sebagai orang Papua ataupun Indonesia, dari banyak hal yang telah dibahas, apakah otsus perlu dilanjutkan atau tidak ?
Penulis adalah Mahasiswa di Universitas Katolik Parahyangan
*) Seluruh isi Tulisan Ini adalah Tanggungjawab Penulis
Posting Komentar
Posting Komentar